SKEPTISISME PROFESIONAL
Skeptisisme dalam Audit
Skepticism
merupakan bagian penting dari filsafat. Melalui pemikiran filsafat dan
pemikiran disiplin ilmu, skeptisisme menjadi bagian dari kosa kata auditing. Karena
auditing melandasi profesi akuntansi, maka istilah yang digunakan adalah professional skepticism atau skeptisisme
profesional. Para teoretisi dan praktisi auditing sepakat bahwa skeptisisme
profesional merupakan sikap mutlak yang harus dimiliki auditor.
Salah satu
penyebab dari suatu gagal audit (audit
failure) adalah rendahnya skeptisisme profesional. Skeptisisme profesional
yang rendah menumpulkan kepekaan auditor terhadap kecurangan baik yang nyata
maupun yang berupa potensi, atau terhadap tanda-tanda bahaya yang
mengindikasikan adanya kesalahan dan kecurangan.
Auditor yang
dengan disiplin menerapkan skeptisisme profesional, tidak akan terpaku pada
prosedur audit yang tertera dalam program audit. Skeptisisme profesional akan
membantu auditor dalam menilai dengan kritis resiko yang dihadapi dan
memperhitungkan resiko tersebut dalam bermacam-macam keputusan.
International
Federation of Accountants (IFAC) mendefinisikan professional skepticism dalam konteks evidence assessment atau penilaian atas bukti audit. Unsur-unsur professional skepticism dalam definisi
IFAC, antara lain:
1) a
critical assessment – ada penilaian yang
kritis, tidak menerima begitu saja;
2) with
a questioning mind – dengan cara berpikir
yang terus menerus bertanya dan mempertanyakan;
3) of
the validity of audit evidence obtained
– kesahihan dari bukti audit yang diperoleh;
4) alert
to audit evidence that contradicts – waspada
terhadap bukti audit yang kontradiktif;
5) brings
into question the reability of documents and responses to inquiries and other
information – mempertanyakan keandalan dokumen
dan jawaban atas pertanyaan serta informasi lain;
6) obtained
from management and those charged with governance
– yang diperoleh dari manajemen dan mereka yang berwenang dalam pengelolaan
(perusahaan).
Unsur-unsur “a critical assessment” dan “ with
a questioning mind ” tidak lain dari
berpikir kritis dalam auditing. Unsur “ management
and those charged with governance ” menunjukkan pihak
lain dengan siapa auditor berhadapan.
Unsur ini
menciptakan situasi dan suasana yang mengandung resiko. Bagaimana auditor
membangun kepercayaan (trust) dalam
situasi seperti ini? Kerangka teoretisnya dikembangkan oleh R.J. Lewicki dan
B.B. Bunker (Developing and Maintaining
Trust in Work Relationship, 1996) yang diringkas dibawah ini.
Lewicki dan Bunker
Kerangka
yang dibangun Lewicki dan Bunker didasarkan pada pandangan mengenai trust (kepercayaan) sebagai “confident positive expectations”
(ekspetasi positif dengan keyakinan). Lewicki dan Bunker melihat “ekspektasi positif
dengan keyakinan” dibangun melalui tiga cara yang mereka namakan calculus-based trust (CBT), knowledge-based trust (KBT), dan identification-based trust (IBT).
Dalam
CBT, keyakinan (confidence) dibangun
pada landasan adanya imbalan yang kuat (potent
rewards) untuk menjaga, memelihara dan mempertahankan confidence tersebut dan hukuman (punishments) apabila confidence
itu dilanggar. Ada cost dan benefit; ada costs of cheating (biaya yang harus dibayar apabila salah satu
pihak ingkar janji) dan ada value of
benefits (nilai atau manfaat dari upaya menjaga, memelihara dan
mempertahankan confidence). Lewicki
dan Bunker mengakui bahwa unsur pencegahnya berupa costs of cheating akan lebih besar pengaruhnya, dan efektif atau
tidaknya pencegah itu bergantung pada kemampuan dan komitmen pihak lainnya
untuk menjatuhkan sanksi apabila ada pelanggaran.
Lewicki
dan Bunker mendefinisikan KBT sebagai confidence
(percaya) seseorang berdasarkan predictability,
dependebility, dan reability pihak lainnya. Ini berarti
satu pihak harus mempunyai informasi yang cukup tentang pihak lain; informasi
ini dapat diperoleh dari pengalaman bekerja sama dan komunikasi yang teratur.
Bentuk trust ini didasarkan atas
pengenalan satu sama lain secara mendalam dan pemahaman yang lahir dari
interaksi yang berulang-ulang.
Lewicki
dan Bunker mendefinisikan IBT sebegai confidence
berdasarkan pemahaman bahwa telah terjadi internalisasi penuh mengenai
kebutuhan dan maksud/niat pihak lainnya. Kedua belah pihak mengerti satu sama
lain, setuju dengan apa yang diinginkan pihak lain, dan bersedia mendukung
sesamanya untuk mencapai tujuan yang diidamkan.
Penelitian
di Indonesia khususnya
pada penelitian doktoral yang dilakukan oleh Suzy Novianti, staff pengajar di
Universitas Kristen Satya Wacana dan Praktisi Audit.
Tipe Kepribadian Manusia
Menurut MBTI, ada empat pasang preferensi manusia, yakni:
1.
Extraversion dan Inteoversion
( E dan I)
2.
Sensing dan Intuition
(S dan I)
3.
Thinking dan Feeling (T
dan F)
4.
Judging dan Perceiving
(J dan P)
Dalam penelitian
tersebut digunakan dua dari empat pasang preferensi manusia yakni Sensing dan
Intuition (S dan N) serta Thinking dan Feeling (T dan F). Model
dalam penelitian ini yang menghubungkan variabel trust (tingkat kepercayaan)
auditor terhadap klien, fraud risk assessment (penaksiran resiko kecurangan) dan
karakteristik personal (pengalaman, gender, dan tipe kepribadian) dengan
skeptisisme profesional. Model ini didasarkan pada teori pembentukan sikap dari
Siegel dan Marconi (1989).
Teori
tersebut mengatakan bahwa sikap dipengaruhi oleh faktor sosial, faktor psikologikal, dan
faktor personal.
1. Trust (kepercayaan) dari auditor
terhadap klien, manajemen dan staf klien menunjukkan bagaimana interaksi sosial
auditor dengan klien.
2. Penaksiran resiko kecurangan merupakan
faktor psikologikal yang diberikan oleh atasan auditor (auditor in charge) pada
auditor sebagai motivasi dalam melakukan audit dilapangan. Penaksiran resiko
kecurangan yang tinggi yang diberikan oleh atasan auditor kepada auditor
diharapkan dapat memotivasi auditor agar auditor bersikap skeptis pada bukti
audit yang diperiksanya.
3. Faktor personal yang diamati dalam
penelitian ini adalah pengalaman, gender, dan tipe kepribadian. Pengalaman
auditor terhadap kecurangan juga diduga membentuk sikap skeptisisme profesional
auditor. Faktor genetik seperti gender dan tipe kepribadian akan menciptakan
predisposisi pada pengembangan sikap tertentu. Contohnya, faktor genetik akan
mempengaruhi tingkat agresivitas seseorang yang pada akhirnya akan mempengaruhi
pembentukan sikap terhadap orang, pekerjaan, dan kerja sama.
Hipotesis
yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
a) Hipotesis 1
Auditor
dengan tingkat kepercayaan berbasis kalkulus (calculus-based trust) menunjukkan
skeptisisme profesional yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor dengan
tingkat kepercayaan berbasis pengetahuan dan auditor dengan tingkat kepercayaan
berbasis identifikasi.
b) Hipotesis 2
Auditor
yang diberi penaksiran resiko kecurangan yang tinggi menunjukkan skeptisisme
profesional yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor yang tidak diberi
penaksiran resiko kecurangan dan auditor yang diberi penaksiran resiko kecurangan
yang rendah.
c) Hipotesis 3
Auditor
dengan tingkat kepercayaan berbasis identifikasi jika diberi penaksiran resiko
kecurangan yang tinggi akan menunjukkan skeptisisme profesional yang lebih
tinggi dibandingkan dengan auditor dengan tingkat kepercayaan berbasis
identifikasi yang tidak diberi penaksiran resiko kecurangan dan auditor yang
diberi penaksiran resiko kecurangan yang rendah.
d) Hipotesis 4A
Auditor
yang berpengalaman menunjukkan skeptisisme profesional yang lebih tinggi
dibandingkan dengan auditor yang tidak berpengalaman.
e) Hipotesis 4B
Auditor
wanita menunjukkan skeptisisme profesional yang lebih tinggi dibandingkan
dengan auditor pria.
f) Hipotesis 4C
Auditor
dengan tipe kepribadian NT (Intuition dan Thinking) menunjukkan skeptisisme
profesional yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor dengan tipe
kepribadian ST (Sensing dan Thinking) dan auditor dengan tipe
kepribadian SF (Sensing dan Feeling).
g) Hipotesis 5
Skeptisisme
profesional auditor akan memegaruhi pemelihan prosedur audit yang efektif.
Implikasi praktis dari penelitian
ini, diantaranya:
1)
Hasil
pengujian hipotesis 1, 2, dan 3 menunjukkan bahwa penaksiran resiko kecurangan
yang diberikan oleh atasan auditor mempegaruhi
skeptisisme profesional auditor dengan IBT (auditor yang sudah berinteraksi
selama beberapa tahun dengan klien bahkan sudah mengenal secara pribadi dengan
klien). Pengaruh
dari penaksiran resiko kecurangan ini akan berdampak buruk apabila penaksiran
resiko kecurangan yang rendah yang diberikan oleh auditor in charge pada tahap
perencanaan audit digunakan sebagai patokan bagi auditor dalam melakukan
penugasan dilapangan dan meskipun ada indikasi terjadi kecurangan auditor tidak
merevisi prosedur audit yang dilakukannya.
2)
Hasil pengujian empiris juga menunjukkan pentingnya
auditor memahami standar auditing. Standar Profesional Akuntan Publik
menyatakan bahwa seorang auditor yang memiliki skeptisme profesional tidak
boleh menganggap bahwa manajemen (klien) adalah tidak jujur tetapi juga tidak
boleh menganggap bahwa kejujuran manajemen tidak perlu dipertanyakan lagi.
3)
Dalam standar juga dikatakan bahwa penaksiran risiko
salah saji karena kecurangan merupakan proses yang harus terus berlangsung
selama audit. Hal ini berarti bahwa auditor tidak boleh terpengaruh oleh
penaksiran risiko kecurangan yang rendah yang diberikan oleh atasannya. Hasil
pengujian hipotesis 1 dan 3 menunjukkan bahwa auditor dengan knowledge – based trust dan calculus – based trust memang tidak
terpengaruh dengan penaksiran risiko kecurangan yang rendah yang diberikan oleh
atasannya.
4)
Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa pengalaman auditor
yang diukur dari lamanya auitor bekerja di kantor akuntan publik tidak
memengaruhi skeptisme profesional auditor dalam mendeteksi kecurangan.
5)
Gender dan tipe kepribadian memengaruhi sikap skeptisme
profesional auditor. Auditor dangan tipe kepribadian NT dan ST lebih skeptis
dibandingkan auditor dengan tipe kepribadian SF. Gender hanya memengaruhi
skeptisme auditor yang berkepribadian SF. Temuan ini bermanfaat bagi pimpinan
kantor akuntan publik pada saat merekrut calon auditor.
6)
Jika auditor bersikap skeptis maka dapat diprediksi bahwa
perilakunya juga akan skeptis yaitu dengan memilih prosedur audit yang lebih
efektif meskipun mungkin untuk melakukan prosedur tersebut untuk diperlukan
usaha yang lebih besar dan waktu yang lebih lama. Hal ini dapat menjadi
pertimbangan bagi pimpinan kantor akuntan publik untuk memotivasi auditor agar
bersifat skeptis dalam hal ini untuk meningkatnya kualitas audit.
No comments:
Post a Comment