Tuesday 16 April 2013

Sikap Skeptis Auditor

SKEPTISISME PROFESIONAL

Skeptisisme dalam Audit
Skepticism merupakan bagian penting dari filsafat. Melalui pemikiran filsafat dan pemikiran disiplin ilmu, skeptisisme menjadi bagian dari kosa kata auditing. Karena auditing melandasi profesi akuntansi, maka istilah yang digunakan adalah professional skepticism atau skeptisisme profesional. Para teoretisi dan praktisi auditing sepakat bahwa skeptisisme profesional merupakan sikap mutlak yang harus dimiliki auditor.
Salah satu penyebab dari suatu gagal audit (audit failure) adalah rendahnya skeptisisme profesional. Skeptisisme profesional yang rendah menumpulkan kepekaan auditor terhadap kecurangan baik yang nyata maupun yang berupa potensi, atau terhadap tanda-tanda bahaya yang mengindikasikan adanya kesalahan dan kecurangan.
Auditor yang dengan disiplin menerapkan skeptisisme profesional, tidak akan terpaku pada prosedur audit yang tertera dalam program audit. Skeptisisme profesional akan membantu auditor dalam menilai dengan kritis resiko yang dihadapi dan memperhitungkan resiko tersebut dalam bermacam-macam keputusan.
International Federation of Accountants (IFAC) mendefinisikan professional skepticism dalam konteks evidence assessment atau penilaian atas bukti audit. Unsur-unsur professional skepticism dalam definisi IFAC, antara lain:
1)      a critical assessment – ada penilaian yang kritis, tidak menerima begitu saja;
2)      with a questioning mind – dengan cara berpikir yang terus menerus bertanya dan mempertanyakan;
3)      of the validity of audit evidence obtained – kesahihan dari bukti audit yang diperoleh;
4)      alert to audit evidence that contradicts – waspada terhadap bukti audit yang kontradiktif;
5)      brings into question the reability of documents and responses to inquiries and other information – mempertanyakan keandalan dokumen dan jawaban atas pertanyaan serta informasi lain;
6)      obtained from management and those charged with governance – yang diperoleh dari manajemen dan mereka yang berwenang dalam pengelolaan (perusahaan).
Unsur-unsur “a critical assessment” dan “ with a questioning mind ” tidak lain dari berpikir kritis dalam auditing. Unsur “ management and those charged with governance ” menunjukkan pihak lain dengan siapa auditor berhadapan.
Unsur ini menciptakan situasi dan suasana yang mengandung resiko. Bagaimana auditor membangun kepercayaan (trust) dalam situasi seperti ini? Kerangka teoretisnya dikembangkan oleh R.J. Lewicki dan B.B. Bunker (Developing and Maintaining Trust in Work Relationship, 1996) yang diringkas dibawah ini.
Lewicki dan Bunker
Kerangka yang dibangun Lewicki dan Bunker didasarkan pada pandangan mengenai trust (kepercayaan) sebagai “confident positive expectations” (ekspetasi positif dengan keyakinan). Lewicki dan Bunker melihat “ekspektasi positif dengan keyakinan” dibangun melalui tiga cara yang mereka namakan calculus-based trust (CBT), knowledge-based trust (KBT), dan identification-based trust (IBT).
Dalam CBT, keyakinan (confidence) dibangun pada landasan adanya imbalan yang kuat (potent rewards) untuk menjaga, memelihara dan mempertahankan confidence tersebut dan hukuman (punishments) apabila confidence itu dilanggar. Ada cost dan benefit; ada costs of cheating (biaya yang harus dibayar apabila salah satu pihak ingkar janji) dan ada value of benefits (nilai atau manfaat dari upaya menjaga, memelihara dan mempertahankan confidence). Lewicki dan Bunker mengakui bahwa unsur pencegahnya berupa costs of cheating akan lebih besar pengaruhnya, dan efektif atau tidaknya pencegah itu bergantung pada kemampuan dan komitmen pihak lainnya untuk menjatuhkan sanksi apabila ada pelanggaran.
Lewicki dan Bunker mendefinisikan KBT sebagai confidence (percaya) seseorang berdasarkan predictability, dependebility, dan reability pihak lainnya. Ini berarti satu pihak harus mempunyai informasi yang cukup tentang pihak lain; informasi ini dapat diperoleh dari pengalaman bekerja sama dan komunikasi yang teratur. Bentuk trust ini didasarkan atas pengenalan satu sama lain secara mendalam dan pemahaman yang lahir dari interaksi yang berulang-ulang.
Lewicki dan Bunker mendefinisikan IBT sebegai confidence berdasarkan pemahaman bahwa telah terjadi internalisasi penuh mengenai kebutuhan dan maksud/niat pihak lainnya. Kedua belah pihak mengerti satu sama lain, setuju dengan apa yang diinginkan pihak lain, dan bersedia mendukung sesamanya untuk mencapai tujuan yang diidamkan.



Penelitian di Indonesia khususnya pada penelitian doktoral yang dilakukan oleh Suzy Novianti, staff pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana dan Praktisi Audit.
Tipe Kepribadian Manusia
Menurut MBTI, ada empat pasang preferensi manusia, yakni:
1.      Extraversion dan Inteoversion ( E dan I)
2.      Sensing dan Intuition (S dan I)
3.      Thinking dan Feeling (T dan F)
4.      Judging dan Perceiving (J dan P)
Dalam penelitian tersebut digunakan dua dari empat pasang preferensi manusia yakni Sensing dan Intuition (S dan N) serta Thinking dan Feeling (T dan F). Model dalam penelitian ini yang menghubungkan variabel trust (tingkat kepercayaan) auditor terhadap klien, fraud risk assessment (penaksiran resiko kecurangan) dan karakteristik personal (pengalaman, gender, dan tipe kepribadian) dengan skeptisisme profesional. Model ini didasarkan pada teori pembentukan sikap dari Siegel dan Marconi (1989).
Teori tersebut mengatakan bahwa sikap dipengaruhi oleh faktor sosial, faktor psikologikal, dan faktor personal.
1.    Trust (kepercayaan) dari auditor terhadap klien, manajemen dan staf klien menunjukkan bagaimana interaksi sosial auditor dengan klien.
2.    Penaksiran resiko kecurangan merupakan faktor psikologikal yang diberikan oleh atasan auditor (auditor in charge) pada auditor sebagai motivasi dalam melakukan audit dilapangan. Penaksiran resiko kecurangan yang tinggi yang diberikan oleh atasan auditor kepada auditor diharapkan dapat memotivasi auditor agar auditor bersikap skeptis pada bukti audit yang diperiksanya.
3.    Faktor personal yang diamati dalam penelitian ini adalah pengalaman, gender, dan tipe kepribadian. Pengalaman auditor terhadap kecurangan juga diduga membentuk sikap skeptisisme profesional auditor. Faktor genetik seperti gender dan tipe kepribadian akan menciptakan predisposisi pada pengembangan sikap tertentu. Contohnya, faktor genetik akan mempengaruhi tingkat agresivitas seseorang yang pada akhirnya akan mempengaruhi pembentukan sikap terhadap orang, pekerjaan, dan kerja sama.
Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
a)      Hipotesis 1
Auditor dengan tingkat kepercayaan berbasis kalkulus (calculus-based trust) menunjukkan skeptisisme profesional yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor dengan tingkat kepercayaan berbasis pengetahuan dan auditor dengan tingkat kepercayaan berbasis identifikasi.
b)      Hipotesis 2
Auditor yang diberi penaksiran resiko kecurangan yang tinggi menunjukkan skeptisisme profesional yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor yang tidak diberi penaksiran resiko kecurangan dan auditor yang diberi penaksiran resiko kecurangan yang rendah.
c)      Hipotesis 3
Auditor dengan tingkat kepercayaan berbasis identifikasi jika diberi penaksiran resiko kecurangan yang tinggi akan menunjukkan skeptisisme profesional yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor dengan tingkat kepercayaan berbasis identifikasi yang tidak diberi penaksiran resiko kecurangan dan auditor yang diberi penaksiran resiko kecurangan yang rendah.
d)     Hipotesis 4A
Auditor yang berpengalaman menunjukkan skeptisisme profesional yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor yang tidak berpengalaman.
e)      Hipotesis 4B
Auditor wanita menunjukkan skeptisisme profesional yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor pria.
f)       Hipotesis 4C
Auditor dengan tipe kepribadian NT (Intuition dan Thinking) menunjukkan skeptisisme profesional yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor dengan tipe kepribadian ST (Sensing dan Thinking) dan auditor dengan tipe kepribadian SF (Sensing dan Feeling).
g)      Hipotesis 5
Skeptisisme profesional auditor akan memegaruhi pemelihan prosedur audit yang efektif.
Implikasi praktis dari penelitian ini, diantaranya:
1)        Hasil pengujian hipotesis 1, 2, dan 3 menunjukkan bahwa penaksiran resiko kecurangan yang diberikan oleh atasan auditor mempegaruhi skeptisisme profesional auditor dengan IBT (auditor yang sudah berinteraksi selama beberapa tahun dengan klien bahkan sudah mengenal secara pribadi dengan klien). Pengaruh dari penaksiran resiko kecurangan ini akan berdampak buruk apabila penaksiran resiko kecurangan yang rendah yang diberikan oleh auditor in charge pada tahap perencanaan audit digunakan sebagai patokan bagi auditor dalam melakukan penugasan dilapangan dan meskipun ada indikasi terjadi kecurangan auditor tidak merevisi prosedur audit yang dilakukannya.
2)        Hasil pengujian empiris juga menunjukkan pentingnya auditor memahami standar auditing. Standar Profesional Akuntan Publik menyatakan bahwa seorang auditor yang memiliki skeptisme profesional tidak boleh menganggap bahwa manajemen (klien) adalah tidak jujur tetapi juga tidak boleh menganggap bahwa kejujuran manajemen tidak perlu dipertanyakan lagi. 
3)        Dalam standar juga dikatakan bahwa penaksiran risiko salah saji karena kecurangan merupakan proses yang harus terus berlangsung selama audit. Hal ini berarti bahwa auditor tidak boleh terpengaruh oleh penaksiran risiko kecurangan yang rendah yang diberikan oleh atasannya. Hasil pengujian hipotesis 1 dan 3 menunjukkan bahwa auditor dengan knowledge – based trust dan calculus – based trust memang tidak terpengaruh dengan penaksiran risiko kecurangan yang rendah yang diberikan oleh atasannya.
4)        Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa pengalaman auditor yang diukur dari lamanya auitor bekerja di kantor akuntan publik tidak memengaruhi skeptisme profesional auditor dalam mendeteksi kecurangan.
5)        Gender dan tipe kepribadian memengaruhi sikap skeptisme profesional auditor. Auditor dangan tipe kepribadian NT dan ST lebih skeptis dibandingkan auditor dengan tipe kepribadian SF. Gender hanya memengaruhi skeptisme auditor yang berkepribadian SF. Temuan ini bermanfaat bagi pimpinan kantor akuntan publik pada saat merekrut calon auditor.
6)        Jika auditor bersikap skeptis maka dapat diprediksi bahwa perilakunya juga akan skeptis yaitu dengan memilih prosedur audit yang lebih efektif meskipun mungkin untuk melakukan prosedur tersebut untuk diperlukan usaha yang lebih besar dan waktu yang lebih lama. Hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pimpinan kantor akuntan publik untuk memotivasi auditor agar bersifat skeptis dalam hal ini untuk meningkatnya kualitas audit.

No comments:

Post a Comment